Jumat, 03 Maret 2017

TASAWUF JAWA


بسمالله رحمن رحيم
                             

Pada kesempatan ini saya akan membahas tentang tasawuf. Menurut ahli bahasa tasawuf berasal dari bahasa arab yaitu tashawwuf yang berarti kesucian. Menurut pengertiannya tasawuf adalah sebuah metode dalam ajaran islam untuk dapat bersatu dengan kemutlakan Tuhan, nah untuk bisa bersatu dengan kemutlakan Tuhan ini maka seseorang harus suci secara batin terlebih dahulu.

Metode seperti ini dapat dilihat pada segolongan orang yang menyucikan diri (menjauh dari dunia) dan lebih mementingkan ibadahnya dari pada urusan duniawi sehingga banyak dari mereka yang tergolong hidup dalam kemiskinan, sebagai contoh misalnya sahabat nabi yang terkemuka Abu Dzar Al-Ghifari (Persia). Kelompok Abu Dzar Al-Ghifari dikenal sebagai kelompok Ahlu As-Shuffah (ahli sufi) yang mendapat tempat dan tumbuh subur di masa kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib. Dengan bumbu bumbu politik dan fanatisme kedaerahan maka munculah kelompok para pengikut Ali (Syi’atu Ali) yang selanjutnya dikenal dengan aliran Syiah. Aliran ini tumbuh subur di Persia (Iran) hingga saat ini dan membedakan dengan aliran Sunni (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah) yang dianut oleh sebagian besar umat islam lainnya.

Nah para pedagang dan ulama Persia yang bersekte syiah ini memiliki peran dan andil dalam pengenalan agama islam serta memberi pengaruh besar terhadap kebudayaan masyarakat jawa. Hal ini terlihat dari adanya tradisi “pantangan” untuk melaksanakan hajatan pada bulan suro (bulan Muharram) dengan alasan “ora ilok” (tidak pantas). Tradisi ini bila dirunut sejarahnya merujuk pada tradisi kaum syiah yang menjadikan bulan suro sebagai bulan duka cita karena pada bulan tersebut Sayyid Husain (putra Ali bin Abi Thalib   sekaligus cucu Rasulullah SAW) dibantai oleh kaum Muawwiyah yang merupakan seteru dari klan rasulullah SAW dan Ali bin Abi Thalib.

Di sisi lain anggota wali songo yang paling senior dalam penyebaran agama islam di tanah jawa yakni Sunan Maulana Malik Ibrahim, disamping itu sunan yang berasal dari Persia ini  juga dikenal sebagai “bapaknya para wali” hal ini dikarenakan beliau mempunyai kekerabatan dengan Sunan Bonang dan sunan Drajat yang merupakan putra beliau, Sunan Giri dan Sunan Kalijaga serta Raden Fatah dan Sunan Ngudung yang merupakan menantu beliau, Sunan Muria dan Sunan Kudus yang merupakan cucu beliau serta sunan Gunung jati yg merupakan murid beliau. Sunan Ampel merupakan putra dari Syekh Ibrahim As-Samarkandi yang berasal dari Samarkand (Uzbekistan), sebuah negri diutara Persia yang memiliki aroma persia lebih kuat ketimbang arab.

Para wali penyebar islam di tanah Jawa ini lebih kental dengan nuansa sufinya sehingga memudahkan mereka untuk menyatu dan beradaptasi dengan masyarakat sekitar sehingga lebih mudah diterima sebagai bagian dari masyarakat Jawa. Dari segi dakwah memang hampir tak terlihat aroma Persia atau Syiah, hal ini karena para wali tersebut memang bukan produk dari Syiah atau Persia. Satu-satunya wali yang ditentang karena mengadopsi pemikiran sufi Persia adalah Syeh Siti Jenar bersama dengan Ki Ageng Pengging yang sempat menghebohkan jagad ke-wali-an di tanah Jawa. Syekh Siti Jenar terkenal dengan paham Manunggaling Kawulo Gusti yang diadopsi dari paham Hulul  milik seorang sufi Persia yang bernama Husain Manshur Al-Hallaj. Sedangkan ajaran tasawuf dari wali songo lebih mengedepankan nilai nilai normatif dan ajaran fikih (hukum islam) dengan “agak” menyembunyikan ajaran hakikat (karena pemahaman hakikat ini tidak bisa diajarkan kepada sembarang orang), sementara Syekh Siti Jenar secara “vulgar” mengupas ajaran tentang kesatuan hamba dengan Tuhan. Demi alasan dakwah tersebut maka Syekh Siti Jenar harus menerima hukuman mati sebagaimana yang dialami oleh Al-Hallaj.

Dalam perkembangan selanjutnya setelah runtuhnya kerajaan demak pengaruh kekuasaan di tanah jawa berada di tangan Sultan Adiwijaya (Jaka Tingkir) di Pajang. Beliau merupakan murid dari Sunan Kalijaga.  Sultan Adiwijaya adalah penganut paham Manunggaling Kawulo Gusti  putra dari Ki Ageng Pengging yang merupakan sahabat sekaligus murid Syekh Siti Jenar. Secara praktis Islam yang berkembang pun beraroma pantheisme (kesatuan hamba-Tuhan) yang terus terwariskan kepada raja raja Mataram dan Surakarta.  
Nah demikian bahasan singkat saya mengenai tasawuf jawa, untuk pemahaman sederhananya mengenai ilmu tasawuf jawa ini dapat disimak dalam tulisan saya selanjutnya dalam kisah Dewa Ruci. Semoga dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semuanya. 

Tampilan Spoiler untuk Menyembunyikan Teks atau Kode

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

HASIL BUKANLAH PRODUK DARI SANG PENCIPTA

Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa Nabi Musa A.S. ditugasi mengimankan Fir'aun, tetapi sampai akhir hayat Fir'aun tetap m...